Empat Musang - Jangan Pernah Berhenti Percaya
"Besok sabtu sama ahad kita latihan nih, buat turnamen?" Baim yang barusan
bergabung dan duduk dengan kami bertiga menoleh ke arah kami yang sedang sibuk
dengan urusan masing-masing. Sejak sehabis ashar tadi kami hanya duduk-duduk
di bangku dengan panjang tiga meter yang letaknya di pinggir lapangan
perumahan kami. Hari itu hari Jum'at, hari yang seharusnya menjadi hari paling
seru—menjadi hari yang sepi, tak ada kawan kami sekalipun di lapangan itu.
Hanya kami berempat dan bocah-bocah berumuran empat tahun di lapangan.
"Kan sabtu lalu Kak Alif sudah bilang. yang dipilih mewakili sekolah wajib
latihan dua hari itu... Kau dengar tidak?" Belum selesai aku meneguk air botol
kemasan untuk ingin menjawab pertanyaan Baim, Ali sudah menjawab nya sambil
memainkan kelereng di tangannya. Merasa tidak peduli dengan kehadiran Baim.
Baim melengos, mendengus kesal yang ditanya menjawab dengan intonasi
ngeselin. Sabtu minggu lalu ia tidak ikut latihan futsal bersama kami—karena kakinya yang sempat terkilir sebelum latihan futsal dimulai. Saat anak-anak
lain bermain dulu beberapa menit di lapangan sebelum Kak Alif, pelatih kami
datang, kami bertiga yang disusul Baim bergabung bermain enam lawan enam. Tapi
tidak berselang lama, saat Baim hendak mengambil ancang-ancang menendang
kearah gawang lawan dengan kaki kiri nya, ia terpeleset hingga kaki kanan dan
kirinya terlipat dan badan nya terhuyung ke belakang. Lalu Baim mengeluh
kesakitan dengan kaki kirinya, tepat Kak Alif datang saat kejadian itu.
"Sepi nih, pada belajar semua... sok rajin yahhh"
"Halaah, sok! Kamu juga belajar kan kalau besok nya ada ujian. Kalo nggak di
omeli ibu mu" Aku setengah tertawa setengah tersenyum menatap Mukhlis yang
cengar-cengir sendiri. Membayangkan Ibunya yang mengomeli nya sehari semalam
karena kalau saja ia tidak belajar sehari jika sedang masa-masa ujian.
Tepat hari itu juga siswa sekolah dasar menghadapi ujian tengah semester,
semua anak-anak di perumahan kami khususnya SD diatas kelas 4 sedang
sibuk-sibuk nya belajar. Padahal hari ujian berlanjut senin depan, masih dua
hari lagi. Itupun hanya satu mata pelajaran. Jika di lihat-lihat, soal ujian
semester tidak beda jauh dengan soal-soal harian yang biasa kami kerjakan.
Jawaban pilihan ganda nya pun mudah ditebak, karena sudah menonjol sekali
dengan jawaban pilihan ganda yang lain. Konon soal seperti itu di bilang
soal bodoh oleh Bapak ku.
"Daripada menunggu disini, kita pulang sajalah. Mereka juga nggak pada datang"
Ali sudah berdiri, berjalan meninggalkan kami bertiga yang masih duduk di
bangku lapangan. Sampai di pinggir jalan menuju rumah nya yang dekat dengan
selokan kering disampingnya, Ali melempar bungkusan jajan nya yang sudah tak
bersisa di dalam selokan kering itu.
Wuussh! Ptak!
"HEADSHOT!" Mukhlis dan aku berteriak keras hampir bersamaan setelah sendal
Mukhlis berhasil mengenai kepala Ali.
Aku dan Mukhlis tertawa melihat Ali yang mendengus kesal mengelus-elus bagian
kepala nya yang tertimpuk sandal jepit Mukhlis. Sebelum Ali menjauh dari
lapangan, Mukhlis sempat meraih sandal jepit nya lantas membidik kepala Ali.
Dan lemparan sandal Mukhlis itu tidak terhindarkan lagi, maka nasib sudah bagi
Ali.
"Jangan kau buang sampah sembarang lah, atau nanti aku lempar kau dengan
sendal kiri ku." Mukhlis tertawa kecil, berpura-pura ingin mengambil sandal
kirinya. Sengaja benar dia meniru logat Melayu Ali. Yang barusan dilempar
hanya nyengir, memungut sampah nya lantas membuangnya ke tempat sampah di
sudut lapangan.
"Dah lah, aku pulang duluan!" Dia yang sejak tadi hanya menonton berdiri dari
tempat duduknya, berlari-lari kecil kearah Abang-abang siomay di pinggir
lapangan.
"Hooii! Kau bilang mau pulang, kenapa ke Abang siomay, heh" Ali yang seperti
nya sudah melupakan kepalanya yang tertimpuk sandal, cekikikan sambil
melambaikan tangan nya. Dia mulai berjalan santai ke arah rumah nya. Baim
tidak menggubris, masih merogoh saku celananya. Sore itu kami berempat bubar,
matahari mulai tenggelam di cakrawala, lebih baik kami segera mandi keburu ada
yang mengomel.
****
Gerimis membungkus perumahan kami, suara kodok mendengking nyaring, suara
jangkrik terdengar samar-samar dari kamarku. Kaki sulit sekali untuk
digerakkan untuk melangkah, rasa kantukku mulai terasa kembali setelah subuh
tadi. Gerimis yang tidak henti-henti sejak dini hari tadi membuat suasan
perumahan menjadi sejuk sejuk dingin. Orang-orang mungkin sedang mendengkur di
kasur empuknya. Suasana di pagi hari seperti ini sering adanya ketika musim
penghujan.
Tubuhku ku hempasan kan ke kasur, sejuk sejuk begini enaknya tidur. Aku
menguap ke sekian belas kali, kantukku mulai menjadi-jadi. Akhirnya aku
terlelap tidur.
Sayang tidur nyenyak ku yang belum genap sepuluh menit, pagi ku yang cerah
bebas dari tugas-tugas, pagi yang cerah tanpa pikiran yang selalu panas ketika
menghitung angka-angka matematika, lenyap seketika setelah suara bising itu
terdengar dari dapur.
"Ahmad! Bukankah hari ada latihan futsal? Sebentar lagi mau mulai, Ahmad!"
Aduuh, ibu ini kenapa sih. Latihan baru dimulai pukul tujuh pagi, sekarang
masih pukul enam, jarak rumah ke tempat latihan juga tidak jauh-jauh amat. Aku
menutup telinga dengan bantal, semoga gerimis ini berubah menjadi hujan deras.
"Ahmad!" Ibu sudah berada di bawah bingkai pintu kamarku, menatap kearah ku
dengan kepala geleng-geleng. Tak lama derap langkahnya terdengar menuju tempat
tidur ku.
"Eh, eh sakit, aduuh!" Aku menepis tangan ibu yang semakin kencang menjewer
telinga ku. Ibu yang sudah sampai disisi tempat tidur ku tadi langsung
menyambar bantal yang menutupi wajah ku.
"Bukankah tadi sudah dibilangin kalau latihan dimulai jam setengah tujuh?!
Segera mandi!" Ibu melepaskan jeweran nya, membuka kembali ponselnya yang
sudah mati. Aku loncat dari tempat tidur.
"Iya, aku tau" aku berbohong, sebenarnya tadi aku tidak mendengar Ibu bilang
jam setengah tujuh tadi, yang aku dengar hanyalah Ibu bertanya bukankah hari
ini ada latihan.
Ketika aku keluar kamar, pintu depan yang terbuat dari kayu itu terbuka
sebagian, udara dingin masuk ke dalam rumah. Bulu kudukku berdiri, udara
dingin nya pagi yang diselimuti gerimis mengenai betis ku. Dengan cepat aku
menyambar handuk putih yang tergantung rapih di jemuran handuk dekat kamar
mandi.
"Udah pada tau kan, Minggu depan hari Sabtu kita akan mengikuti turnamen di
sekolah Al Fajar?" Kak Alif menatap kami yang berbaris rapih kebelakang
mendengarkan penjelasannya. Khususnya yang akan mewakili sekolah untuk
turnamen. Kak Alif ini lulusan S1 jurusan komputer, beliau sekarang bekerja di
sebuah perusahaan besar yang letaknya tak jauh dari tempat latihan futsal
kami. Sebagai pekerjaan sambilan ia menjadi pelatih tim futsal sekolah kami.
Sudah sekitar tiga tahun lamanya ia menjadi pelatih futsal.
Kak Alif ini kalau melatih kami semua memang seru abis, setiap setelah
pemanasan dasar, latihan lari dan sebagainya, ia memperbolehkan kami bermain
bola bebas di lapangan yang berbahan karet itu. Pelatih yang ramah, baik hati,
dan senang tersenyum itu membuat kami yang dilatihnya manjadi merasa nyaman
berlatih futsal di setiap hari Sabtu Minggu. Tapi Kak Alif juga tidak lupa
menanamkan sikap disiplin di diri kami, setiap anak yang telat datang ke
tempat latihan, pasti disuruhnya push-up lima puluh kali dan berlari
berkeliling lapangan dua puluh kali.
"Udaaah!" Kami menjawab serempak, Kak Alif melihat jam tangannya. "Sudah mau
jam sepuluh, waktunya kita pulang. Arul, kau pimpin doa" salah satu kakak
kelas kami, Arul, memimpin doa pulang.
Setelah doa selesai Kak Alif masih menjelaskan satu hal yang khusus untuk kami
yang akan mewakili turnamen Minggu depan.
"Besok hari Minggu untuk yang ikut turnamen ada sedikit tambahan waktu latihan
ya. Pemantapan strategi kita" begitu katanya, Kak Alif tertawa kecil melihat
wajah kelelahan kami. "Baiklah, kalian boleh pulang, tapi jangan sampai lupa
latihan besok ya. Yang tidak hadir akan kakak coret namanya" Kak Alif hanya
terkekeh. Baim, Ali Mukhlis dan yang lainnya sudah berebutan Salim, tidak peduli dengan perkataan Kak Alif barusan, sedangkan
aku masih manggut-manggut sendiri.
****
Seminggu kemudian.
"Oi! Besar sekali sekolah ini. Masjid nya besar pula" Ali yang duduk di
samping supir angkot menatap takjub masjid juga gedung sekolah yang dimiliki
sekolah Al Fajar itu. Masjid dengan luas lima ratus meter yang memiliki kubah
berlapis cat hijau dan menara nya yang menjulang tinggi itu, tentu saja
terlihat lebih bagus dari masjid perumahan maupun sekolah kami.
"Norak! Kayak belum pernah liat masjid saja" Mukhlis mulai dengan olok-olok nya yang entah sudah keberapa kali ia lontarkan kepada Ali. Ali hanya memonyongkan bibirnya sambil melihat-lihat sekitar, tidak peduli dengan cibiran Mukhlis. Angkot rem mendadak, tubuh Mukhlis terhuyung kedepan, hampir mengenai kepala sang supir. Dia duduk di bagian depan kursi yang memanjang kebelakang itu, persis dibelakang nya supir angkot. Ali tertawa melihat Mukhlis yang mengaduh kesakitan.
"Syukurin!" Begitu kata Ali, ia langsung mendorong gagang pintu hingga pintu angkot disampingnya itupun terbuka lebar. Mukhlis yang masih mengelus-elus kepalanya nyengir.
Kami bersepuluh loncat satu-satu dari angkot yang berwarna Oren kemerahan itu, berjalan beriringan mengikuti Kak Alif. Hingga kami semua tiba di gedung SMP Al Fajar, tepatnya di bagian tangga menuju lantai dua. Tas yang kami sandang di pundak, kami taruh di anak tangga. Yang terpenting tidak menghalangi jalan. Aku keluar dari lorong gedung itu, mendongak keatas melihat gedung SMP yang menjulang tinggi keatas sana. Sama saja sebenarnya dengan gedung SD ku, berlantai tiga tingkat, hanya saja yang ini lebih tinggi dari gedung SD ku.
"Oi, semuanya kesini dulu!" Kami yang sedang mengobrol ini itu, berjalan kesana kemari segera bergegas mengerubungi Kak Alif, apalagi kami sudah mendengar panitia menyebut nama sekolah kami untuk bersiap-siap. Kak Alif mengeluarkan papan strategi dari tasnya, lantas mengerakan magnet-magnet membentuk sebuah formasi sebagai contoh strategi nya. Kak Alif menjelaskan panjang lebar mengenai strategi dan apa yang harus kami lakukan jika menghadapi kondisi tertentu.
Terakhir Kak Alif sempat memberikan motivasi kepada kami, mengingat bulan lalu sekolah kami kalah telak dengan sekolah lain. Seperti tahu benar arti ekspresi wajah kami yang serius dan penuh dengan kekhawatiran. Begini yang beliau katakan kepada kami:
Percayalah, kalian tidak akan kalah lagi kali ini, tidak akan pernah. Selagi kepercayaan di diri kalian masih utuh, selagi kalian masih percaya, selagi masih ada doa-doa di dalam hati kalian masing-masing, maka sekali lagi kalian tidak akan dan tidak akan pernah kalah. Oi! Bahkan nanti kita bisa bawa pulang piala-piala itu. Tetaplah berdoa di sepanjang jalan yang akan kalian lewati, tetaplah berusaha sampai batas kemampuan yang kalian miliki dan Jangan Pernah Berhenti Percaya. Never Stop Believing!
Semangat kami terbakar setelah mendengar kata itu, Jangan pernah berhenti percaya. Segera bersama-sama kami melangkah menuju pinggir lapangan, lima akan bermain dan lima lainnya mendukung dan menjadi pengganti. Aku mendongak ke atas langit yang sedikit mendung, berdoa singkat, meminta kepada Tuhan untuk diberikan kelancaran, kepercayaan dan kemudahan paa diri kami.
Priiit!!
Suara peluit terdengar nyaring, kami berlari maju, pertandingan sudah dimulai.
****
Baim dan teman yang lain tertawa melihat benda berkilau yang di senderkan di dinding angkot. Satu dua teman bermain-main dengan benda itu, mengangkat nya tinggi-tinggi layaknya seorang juara. Setelah enam pertandingan sulit kami lewati, setelah keringat membasahi seluruh tubuh kami, akhirnya kami berada di ujung perjuangan yang telah kami semua lalui dengan susah payah.
Tim lawan terakhir kami adalah tuan rumah. Tim yang lebih sulit dikalahkan dari tim-tim lainnya yang sudah kami lalui. Semuanya berjalan dengan lancar hingga menit terakhir babak ke satu, sang tuan rumah berhasil membobol gawang kami. Mereka yang berhasil mencetak gol, langsung memperkuat pertahannya. Membuat para penyerang tim kami kewalahan menghadapi mereka. Namun berkat kegigihan kami dan bantuan dari tuhan, kami bisa dengan mudah mencetak dua gol sekaligus dengan jeda hanya beberapa menit, ketika salah satu beck tuan rumah kelelahan dan blunder dengan bola yang diterima nya. Maka para penyerang tidak membuang-buang kesempatan, mereka langsung menyambar bola yang lepas dari kaki sang beck lawan. Dan wussh! Bola melesat ke dalam gawang kiper tuan rumah. Gol kedua tidak jauh berbeda, penyerang tim kami memanfaatkan kelemahan pada bagian sayap tim mereka.
"Oi, Oi! Jangan kau angkat-angkat terus piala itu, nanti gagangnya malah copot!" Kami tertawa geli melihat Mukhlis yang di omeli oleh Kak Alif, nyengir merasa tersinggung dengan perkataan Kak Alif setelah itu. Aku menyenderkan tubuhku di dinding angkot, menatap langit yang terlihat gelap di tutupi awan mendung. Aku percaya dengan kata-kata itu,
Jangan Pernah Berhenti Percaya.
Cerpen by Muhammad Hanif Muchtar, asal SDIT DARUL MAZA, Bekasi. Dengan tema Empat Musang.
mantep!
BalasHapus